Ketika perang Belanda di Aceh sedang berkobar serta diiringi dengan semerbak mawar perang Fisabilillah, dibagian lintasan Barat yakni Aceh Barat dan Nagan Raya juga tak terlepas dari perang Belanda di daerah tersebut melawan Gerilyawan (muslimin) Aceh.
Di Meulaboh (Aceh Barat) gerilyawan Aceh dipimpin oleh Teuku Umar Johan Pahlawan, serta sang istri Cut Nyak Dhein, yang sangat menentang keras kehadiran sang penjajah, dimulai dari Meulaboh menentang pendaratan Belanda hingga perang terus berkecambuk dan semakin memanas. Dalam kehebatan serang menyerang antara pihak Aceh dengan Belanda sejak Umar balik ke pangkuan Aceh, ternyata dapatlah dicatat bahwa masa meningkatnya adalah dalam bulan juli.
Ketika Umar diputuskan supaya bertugas saja ke Meulaboh dengan pasukannya, berangkatlah Umar dari Aceh Besar menuju Meulaboh dengan menempuh lebatnya hutan rimba belantara dari Geumpang melalui Kuala Tubot ke Meulaboh.
Sesampai Umar dan pasukannya disana, beberapa bulan kemudian Meulaboh mendadak menimbulkan perang perlawanan menjadi luar biasa, dan hingga akhirnya Umar gugur dalam sebuah pertempuran. Sumber Belanda yang mengatakan bahwa Umar tewas dalam sebuah pertempuran berhadapan melawan Van Heuts (pihak Belanda) bulan Febuari 1899 yang tidak jauh dari Meulaboh. Mayatnya di larikan oleh pasukan Aceh ke pedalaman, hingga akhirnya diketahuilah oleh kapten Belanda Schmidt bahwa jenazah Teuku Umar disemayamkan sebelah barat laut Meulaboh yakni dari Mugo.
Tak hanya Meulaboh yang merasakan dasyatnya perang Belanda di Aceh, hal serupa juga di alami oleh kabupaten Nagan Raya (Jeuram). Tapi sayang, pahlawan dari Nagan Raya sedikit terlupakan. Entah karena tidak mau tahu tentang sejarahnya, mungkin juga tidak ada pahlawan yang bisa dibanggakan. Entahlah saya kurang tahu akan hal ini.
“Mengenai Teuku Raja Tampok yang disebut dalam laporan politik yang lalu, seorang lawan kita yang terdamaikan itu telah dicari-cari 20 tahun yang lalu, hanya diterima berita yang samar-samar; namun demikian dapat dipastikan ia beserta istrinya tetap bertualang di paya-paya Seuneuam (kecamatan Darul Makmur) yang amat sukar ditembusi itu diberi makan oleh penduduk Seuneuam.” (Mailrapport No. 130/29)
Petikan singkat diatas laporan Gubernur Aceh Goedhart tentang keadaaan politik di Aceh tahun 1928 mengingatkan kita bahwa sejak 1908 Teuku Raja Tampok telah tampil sebagai pejuang dari gerilyawan Aceh (muslimin) yang cukup diperhitungkan oleh pemerintah kolonial terutama dalam penaklukan daerah Seunagan di Pantai Barat Aceh. Kemunculan Teuku Raja Tampok sendiri sebagai salah seorang pemimpin perlawanan sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dengan drama penaklukan wilayah Meulaboh umumnya dan Seunagan khususnya sejak penghujung abad ke-19 silam.
Perlawanan melawan Belanda asal mulanya dipimpin oleh Teuku Keumangan. Beliau di dampingi oleh putra daerah ulama termukaka daerah itu, Habib Nagan yakni Tgk Padang Si Ali (Sayed Yasin) serta keponakannya Tgk Putik (Said Abdur Rani).
Pada tahun 1902-1904 perang anatra pihak Nagan dengan Belanda semakin memanas. Kedua belas pihak saling serang menyerang yang menimbulkan banyak korban. Namun kuatnya benteng pertahanan Belanda yang dilapisi oleh pasukan Marsose yang dipimpin oleh kapten Campioni dan Mathes yang bermarkas di Plo Ie, perlahan-lahan mulai dipatahkan oleh Gerlyawan Nagan.
Dalam sebuah pertempuran melawan gerlyawan Nagan, kapten Campioni tewas. Namun pasukan Belanda yang sudah terlatih dan mempunyai dukungan banyak perlengkapan senjata, akan sangat sulit untuk dikalahkan. Pihak Nagan dengan cepat menyadari hal ini dan pada tahun 1905, Teuku Keumangan turun tangan untuk bertemu dengan Belanda agar berdamai. Beberapa tahun kemudian sekiranya tahun 1915, beliau di angkat sebagai zelfbestuurder Seunagan menggantikan Teuku Johan (dugaan saya Teuku Johan ini kakek Teuku Salahuddin Syah alias Sala Blang Baro).
Disaat Teuku Keumangan turun untuk berdamai dengan Belanda, perlawanan Rakyat memang sedikit berkurang tetapi bukan berarti perlawanan melawan Belanda reda begitu saja. Masih ada beberapa pahlawan lain yang terus berperang beberapa tempat di Nagan Raya seperti Seunagan, Tadu, Plo Ie, Tripa dan lainnya.
Dari pihak Belanda perang dipimpin oleh Kapten Baretta dan Letnan H.J. Schmidt dilengkapi dengan pasukan elit Belanda yang disebut Marsose serta serdadu bawahan lainnya. Di lain pihak, demi melakukan perlawanan terhadap Belanda, pasukan Nagan Raya dibantu oleh Teuku Raja Tampok, Teuku Itam, Tengku Si Ali, Tengku Putik,dan Teuku Kapa. Dari nama-nama inilah muncul ide-ide lihai dalam berperang, pemberani, ahli siasat, menpergunakan kelewang (sejenis pedang Aceh)
Seperti kisah di balik nisan W.B J.A Scheepens, misalnya. Ia dibunuh oleh tusukan rencong Teuku Bintara Titeu. Scheepens ketika itu bertugas sebagai pemimpin sidang pengadilan. Rupanya Teuku Bintara Titeu tak puas pada keputusan Scheepens. Ada satu kisah yang sangat menyedihkan dari sisi kemanusiaan.
Seorang letnan satu bernama H.P de Bruijn gugur sehari sebelum hari pernikahannya. Saat itu dia diperintahkan ke Seunangan di Pantai Barat. Namun, saya belum bisa untuk memastikan tahun kematiannya. Untuk lebih jelas bisa dibaca dalam buku Panduan Kuburan Militer Peutjuet.
Bruijn mati tragis. Lima belas tebasan kelewang (sejenis pedang Aceh) dan satu tusukan tombak berbekas di tubuhnya. Di kutip dalam buku tersebut, di tengah sakaratul maut, ia lupa menyinggung calon pengantinnya. Sungguh sedih.
Dari perlawanan yang mereka kerahkan, pihak Belanda merasa kewalahan untuk mengatasi sengitnya perlawanan yang diberikan oleh pejuang Nagan Raya, terutama pasukan Marsose yang mengalami hal ini. Karena para ksatria Nagan Raya itu telah memahami dan mempunyai keyakinan bahwa perang melawan kaum kafir adalah syahid di jalan Allah.
Dari berbagai perlawanan yang telah diberikan, tapi nyatanya pasukan Nagan Raya tidak mampu mengahalau dan melenyapkan pasukan Belanda yang tergolong rapi di daerah Seunagan. Namun malah sebagian pejuang syahid ini seperti Teuku Usman dan anak Tengku Putik gugur dalam pertempuran dan sebaiannya ada yang terluka dan ditawan.
Atas kekuasaan Teuku Keumangan, pada tahun 1910 Tengku Putik beserta pasukannya turun dan berdamai dengan Belanda. Setahun kemudian langkah ini diikuti pula oleh rekan sepejuangnya yakni Habib Muda dan Tengku Padang Si Ali. Dengan adanya nota perdamaina, pihak Belanda mencoba memanfaatkan kesempatan ini dengan cara mengasingkan beberapa tokoh Nagan Raya ini ke luar Aceh, karena Belanda tidak mengahrapkan adanya gerakan perlawanan dikemudian hari.
Berbeda dengan tokoh yang berdamai di atas, Teuku Raja Tampok sama sekali tidak meniru langkah itu untuk berdamai dengan Belanda. Beliau sudah berjanji akan membalas dendamnya kepada Belanda yang telah membunuh orang tuanya, Teuku Datuk Mat Saleh. Perbuatan keji dan hina ini telah menimbulkan kemarahan dalam diri Teuku Raja Tampok. Sebab Belanda membunuh ayahnya dengan cara hina. Teuku Datuk Mat Sareh yang sedang terbaring di atas dangau dibakar oleh serdadu Belanda sampai hangus bersama dengan dangau tersebut. Pada waktu menyaksikan mayat ayahnya yang telah jadi abu itu, ia pun bersumpah akan terus melakukan perlawanan terhadap Belanda sampai tetesan darah terakhir.
Setelah Teuku Raja Tampok terikat dengan sumpah yang telah diucapkan, maka ia mulai merencanakan serangan-serangan terhadap pasukan Belanda. Kurang diketahui secara pasti berapa jumlah pasukan yang telah dipersiapkan, namun pastinya jumlah pasukan Nagan Raya dibawah Teuku Raja Tampok tentu sangat sedikit bila dibandingkan dengan pasukan serdadu Belanda. Di samping itu juga, Pang Karim melakukan aksi serangan di daerah Tripa (sekarang kecamatan Tripa Makmur). Sebaimana kutipan tanda petik di atas bahwa tokoh ini sangat ditakuti serta dicari-cari oleh Belanda.
Perang Fisabilillah yang dilancarkan oleh pahlawan Nagan Raya untuk melawan kaum kafir, tentunya seorang pemimpin akn menerapkan aturan-aturan yang keras serta dipatuhi. Konon katanya, Tuku Raja Tampok menerapkan aturan kepada pasukannya diharus menggunakan pakaian Hitam. Lelaki dan perempuan memakai celana untuk memudahkan gerakan bila terjadi serangan dari pasukan Belanda. Celana mereka berpotongan babah keumurah (di bawah lutut) dan baju bulat leher. Sementara lelaki memakai destar yang juga berwarna hitam. Destar itu juga dapat digunakan sebagai kain selimut dan wadah mengangkut barang keperluan sehari-hari.
Berbagai cara dilakukan oleh pasukan Belanda dalam usaha untuk menangkap Teuku Raja Tampok, tenyata tidak berhasil, hanay saja pengikut Teuku Raja Tampok berkurang, termasuk ketika Belanda mengadakan Operasi Militer, baku tembak-menembak dengan masyarakat Nagan serta Patroli disekitar camp pangkalan militer pasukan Marsose yang terletak di daerah Lamie dan Jeuram. Usaha Belanda ini ternyata tidak membuat Teuku Raja Tampok beserta keluarga dan pengikutnya merasa kalah atau kandas ditengah jalan, namun sebaliknya karena dia telah terikat oleh sumpahnya tadi.
Ironisnya, Teuku Raja Tampok tidak berhasil ditangkap atau ditawan oleh Belanda hingga masa kolonialisme di Aceh berakhir. Tapi justru Teuku Raja Tampok malah terkenal dikalangan masyarakat umum Nagan Raya. Konon katanya dulu, Teuku Raja Tampok memiliki ilmu kebal, dapat menghilang sewaktu-waktu ketika bertindak agar selamat, dan berubah dan menghilang menjadi makhluk lain yang tidak masuk akal. Begitulah kira-kira mitos yang tersebar pada masa itu.
Uleebalang setempat tampaknya bersikap adil atau acuh tak acuh terhadap Teuku Raja Tampok sepanjang tidak mengganggu ketertiban penduduk. Hal demikian dapat dimengerti mengingat Teuku Keumangan ulee balang Seunagan 1916-1929 yang kemudian digantikan oleh Teuku Ben adalah bekas majikan Teuku Raja Tampok. Sedangkan Teuku Raja Baday alias Petua Beungga, zelbestuurder Seuneunam sebelum 30 Juli 1929, menurut Gubernur Goedhart adalah hulubalang yang lemah dan tidak dapat dipercayai (Mailrapport 835x/28).
Dalam masa perjuangan gerilya itu terdapat juga konflik kepentingan antara Teuku Raja Tampok dengan sebagian masayarakat desa. Konflik kepentingan apabila tidak dapat didamaikan lagi diselesaikan melalui aksi teror sebagaimana halnya pembunuhan terhadap Tengku. M. Yatim, imeum Desa Alue Kuyun Tripa, oleh Pang Perlak atas kerjasama dengan 2 orang penduduk setempat pada awal tahun 1926. Beberapa waktu kemudian Teuku Raja Batak, imeum Tripa Atas, membunuh pula pengikut Teuku Raja Tampok, yang terakhir segera memberikan reaksi balasan. Pada tanggal 15/16 Juli 1926 Ben Lui dan Pang Perlak membunuh Teuku Raja Batak. Zelfbestuurder Seunagan Teuku Keumangan membiarkan peristiwa yang menimpa bawahannya itu berlalu begitu saja (Mailrapport No. 221x/28 dan 835x/28). Tidak lama kemudian imuem Tripa Atas digantikan oleh Teuku Raja Gombak.
Dalam masa gerilya itulah Teuku Raja Tampok memperoleh seorang putra yang diberi nama Teuku Bentara Keumangan, tetapi lebih populer Teuku Raja Ubit (kecil atau bungsu). Tahun persis kelahirannya kurang diketahui, tetapi diperkirakan sekitar 1935. Teuku Raja Ubit sendiri bukan lahir dari rahim Cut Caya. Menurut sebuah sumber ibunya adalah Indah/janda A. Rahman, pengikut Teuku Raja Tampok yang telah ditangkap dan dibuang ke Jawa oleh Belanda. Ketika tempat persembunyian Teuku Raja Tampok di Blang Tadu dikepung pasukan Marsose, Teuku Raja Tampok dan Cut Caya beserta Teuku Raja ubit yang masih kecil dapat menyelamatkan diri ke hulu-hulu Blang Tripa. Sedangkan Indah gugur dalam kepungan itu. Sejak saat itu Teuku Raja Ubit diasuh oleh Cut Caya dalam keadaan berpindah-pindah tempat karena terus dikejar oleh Belanda.
Waktu terus bergulir, berkat Gerilyawan Muslimin Aceh ini, Nagan Raya pun mengalami perubahan sebagai akibat dari kolonisasi, modernisasi dan pergantian generasi. Sejak tahun 1928 enam perusahaan besar membuka 10 perkebunan kelapa sawit dan karet yang arealnya ratusan ribu hektar, sementara buruh atau karyawannya didatangkan dari luar. Berdirinya bivak dan perkebunan mengakibatkan munculnya Pasar Jeuram dan Alue Bilie yang didiami oleh minoritas pendatang dan penduduk setempat. Bersamaan dengan itu pemerintah kolonial membangun pula fasilitas komunikasi dan fasilitas sosial di kedua tempat.
Kesemua hal di atas mengakibatkan struktur sosial masyarakat Nagan Raya bertambah kompleks berkat munculnya kelompok-kelompok sosial baru di tengah masyarakat. Di kota Jeuram dan Alue Bilie sendiri muncul kelas pedagang, baik yang berasal dari orang China maupun orang Aceh yang sukses di tempat itu seperti Nyak Ana Hamzah. Di samping itu, muncul pula generasi muda terpelajar baik yang memperoleh pendidikan umum maupun madrasah, seperti M. J. Efendi dan Tgk. Zakaria Yunus, 1906-1996. Kelompok pedagang dan intelegensia muda ini, seperti halnya minoritas pendatang, cukup adaptif terhadap ide pembaharuan yang sedang menggelinding di Kepulauan Nusantara waktu itu. Kekompleksitasan struktur masyarakat dengan sendirinya berpengaruh pada pendistribusian kekuasaan karena munculnya simpul-simpul kekuasaan baru di tengah masyarakat. Masalahnya kekuasaan tradisional di Seunagan dan Beutong pada waktu sebelumnya berada di tangan hulubalang setempat beserta jaringan birokrasinya sebagai penguasa adat dan Tgk. Padang Si Ali, sejak 1929 digantikan oleh Habib Muda 1899-1973 sebagai pemimpin spiritual Tarekat Syatariah.
Kini perang Belanda di Aceh telah usai namun pada masa itu perang sabil terus berkobar, dan Belanda pun terus menambahkan kekuatannya dengan dipenuhi pasukan marsose serta perlengkapan senjata yang lengkap demi hasrat untuk menguasai Aceh. Ketika Nagan Raya sedang bergejolak, disaat itulah muncul beberapa tokoh (pahlawan) yang sangat menentang kehadiran Belanda di Nagan Raya, namun nyatanya pahlawan-pahlawan tersebut lenyap di makan waktu dan nyaris terabaikan dalam perjalanan catatan sejarah Aceh. Mengapa ?
Perjalanan waktu juga yang menenggelamkan kesatuan ini dalam palung terdalam. Pergantian penguasa, keberlangsungan pasukan ini pun berakhir. Kerja keras, pengorbanan, jasa, dan risalah mereka turut terkubur seolah-olah mereka tidak pernah ada. Ironisnya lagi, kehebatan mereka sejak perang Belanda di Aceh (Nagan Raya) nyaris tak ditulis dalam sejarah dan hanya menjadi cerita pengantar tidur anak-anak, cucu, dan saudara terdekat para mantan anggota pasukan tersebut.
Sumber :
M. Isa Sulaiman dan Budi Wibowo. 1998. Dinamika Masyarakat Gunong Kong di Meulaboh (Aceh Barat).Banda Aceh: Balai Kajian Sejarah dan Tradisional Banda Aceh.