"RAMEUNE"
Bagi sebagian masyarakat Aceh, tentu sudah tak asing lagi dengan kata ini. Terutama masyarakat pantai Barat-Selatan Aceh, sudah lumrah menggunakan kata “meurameune” atau “rameune” dalam kehidupan sehari-hari. Walau dari sebagian besar masyarakat itu sendiri, sama sekali tak tahu maksud atau arti dari kata tersebut. Sehingga tak jarang, kata meurameune sering digunakan untuk mendeskreditkan kelompok tertentu.
Penggunaan kata ini sebenarnya sering dialamatkan bagi masyarakat Nagan Raya yang suka melebih-lebihkan (memberatkan atau banyak tingkah) dalam urusan tertentu.
Namun seiring berjalan waktu, penggunaan kata ini tidak hanya berlaku bagi masyarakat Nagan saja, tapi juga bagi yang lainnya. Serta telah merambah ke berbagai aspek kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Karenanya, siapa pun dia, walau bukan orang Nagan Raya, ketika ada pernyataan “that meurameune,” yang mendengar pasti akan membuat kupingnya merah.
Tak jarang pula, gara-gara penggunaan kata ini terjadi perpecahan dalam kelompok masyarakat. Hal ini penulis rasakan sendiri, ketika ada kawan yang menyebut kata itu, ada sesuatu yang terasa tidak mengenakkan di hati. Padahal jika dilihat dari segi sosialnya, meurameune adalah bagian dari budaya masyarakat Nagan Raya yang sudah ada puluhan atau ratusan tahun lalu. Maka sudah selayaknya, diantara sesama masyarakat itu saling menghargai budaya yang berbeda. Sebagaimana diungkapkan Dr. Abdul Rani Usman dalam bukunya “Etnis Cina Perantauan di Aceh” bahwa, keberagaman budaya dalam masyarakat menjadi keberagaman pula cara berkomunikasi. Kita dituntut untuk memahami budaya lain yang sangat berlainan dengan budaya antar manusia.
Asal Usul Meurameune
Sampai hari ini, penulis belum menemukan referensi yang menjelaskan tentang asal usul kata meurameune. Setidaknya penulis sudah mencoba mencarinya di beberapa perpustakaan yang ada di Aceh Barat dan Nagan Raya. Baik perpustakaan kampus maupun daerah. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangannya. Hal ini tentunya memberi peluang bagi penulis lain untuk melakukan penelitian lebih lanjut agar dapat menambahkan serta meluruskan setiap informasi yang ada dalam tulisan ini.
Sampai hari ini, penulis belum menemukan referensi yang menjelaskan tentang asal usul kata meurameune. Setidaknya penulis sudah mencoba mencarinya di beberapa perpustakaan yang ada di Aceh Barat dan Nagan Raya. Baik perpustakaan kampus maupun daerah. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangannya. Hal ini tentunya memberi peluang bagi penulis lain untuk melakukan penelitian lebih lanjut agar dapat menambahkan serta meluruskan setiap informasi yang ada dalam tulisan ini.
Meski kekurangan referensi (buku atau data-data tertulis), penulis mencoba untuk menjabarkan pemaknaan meurameune berdasarkan sumber hidup (orang) yang setidaknya memahami seluk beluk kebudayaan masyarakat Nagan Raya. Tentunya sedikit banyak dapat memberikan gambaran bagi masyarakat tentang meurameune.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Nagan Raya, H. Teuku Cut Adek, asal kata meurameune didasari dari suatu cerita. Zaman dulu ada orang kaya bernama Said Attah yang sering memuliakan tamu-tamunya dengan berbagai hidangan mewah sebagai bentuk syukur kepada yang Maha Kuasa. Ia dikenal seorang dermawan dan ahli ibadat. Said Attah sering mengucapkan “rahmani.. rahmani,” dalam bahasa Arab, merujuk pada kata rahmat yang berarti bahwa keberkahan dari Allah.
Karena sering mendengar kata itu diucapkan oleh Said Attah, masyarakat Nagan Raya waktu itu juga ikut mengucapkannya, namun dalam pengguaan bahasa yang tak fasih. Sehingga tersebutlah “rahmeune.” Seiring berjalan waktu, kata “rahmeune” berubah menjadi “meurahmeune” dan lumrah diucap “rameune.” Bisa jadi, karena faktor ketidaklancaran dan kefasihan bahasa yang digunakan masyarakat saat itu, sehingga penyebutannya berbeda. Tapi ini masih sebatas cerita dari mulut ke mulut yang diceritakan secara turun temurun, belum ada bukti empiris tentang itu.
Rahmani atau meurameune yang dipraktekkan Said Attah dan dikuti oleh masyarakat pada zaman itu adalah cara memuliakan tamu yang mengandung unsur silaturrahim yang kuat di dalam masyarakat. Hal tersebut masih berlaku sampai hari ini. Namun sayangnya, cara memuliakan tamu yang dipraktekkan masyarakat Nagan Raya hari ini, sudah terkesan berlebih-lebihan dan memberatkan masyarakat itu sendiri. Terutama masyarakat yang kehidupan ekonominya menengah ke bawah. Meurameune di Nagan Raya hari ini juga telah masuk ke berbagai aspek kehidupan masyarakat. Baik sosial, agama, maupun budaya (adat istiadat).
Contohnya pada acara sunnah rasul, pesta perkawinan, turun mandi anak dan bawa nasi tujuh bulan ibu hamil, masayarakat selalu melebih-lebihkan hantarannya. Dan itu menjadi hal wajib bagi mereka. Sebagian besar masyarakat lebih memilih mengadakan acara sunatan rasul anak mereka dengan cara yang mewah, walaupun mereka harus berhutang ke sana ke mari. Memang itu merupakan hak privasi seseorang, namun jika dilihat dari konteks adat, itu sudah berlebihan (meurameune) dan nantinya menjadi buah bibir masyarakat.
Sementara dalam hal perkawinan, bagi pasangan baru menikah mereka berkewajiban untuk membawa kue hantaran ke rumah mertua. Biasanya istri membawa kue pada hari meugang yang biasa disebut kue isi 15. Tak hanya itu, seorang istri juga harus membawa hantaran kue isi 30, saat lebaran Idul Fitri. Isinya macam ragam, sebagaimana kue cirri khas Nagan Raya. Kedua hal tersebut merupakan sesuatu yang agak berlebihan (meurameune) dalam konteks adat istiadat.
Ada baiknya jika adat itu tidak dilebih-lebihkan dan tentunya juga tidak dihilangkan. Adat bukan untuk diperjualbelikan. Adat bukan untuk membuat kesenjangan sosial, melainkan untuk menyatukan dan menghilangkan strata sosial di dalam masyarakat. Adat adalah sebagai bukti bahwa negara kita kaya akan keberagaman. Mari sama-sama kita mengembalikan adat meurameune Nagan Raya geutanyoe pada habitat yang sebenarnya, sebagaimana telah diwariskan oleh para endatu kita bersama.
Bagi masyarakat di luar Nagan Raya, mari sama-sama kita saling menghormati setiap perbedaan budaya dan adat istiadat di antara kita. Tidak asal ucap tanpa tahu makna dibalik kata yang diucapkan. Memang, fenomena meurameune ini sudah membuming dan keenakan diucap. Jika ada orang yang terkesan memberatkan atau agak berlebih-lebihan dalam perkara tertentu, maka orang itu akan disebut rameune. Hal ini memunculkan stereotipe di dalam masyarakat. Kalau sudah rameune seolah-olah dia orang Nagan Raya. Mari kita hilangkan segala prasangka buruk itu, karena siapa tahu, sebenarnya dalam kehidupan sehari-hari tanpa disadari, kita sering atau bahkan sudah “Meurameune.”
penulis adalah mahasiswa uin ar-raniry banda aceh jurusan S1 pendidikan biologi.
email amarullah48@gmail.com
alasan saya menulis ini adalah saya ingin mencari tau asal-usul rameune tersebut.
5 comments
Write commentsapakah anda mengetahui buku-buku tentang sejarah nagan raya?
Replyjika iya, apakah andadpt memberitahu saya tentang beberapa referensinya>
terimakasih sebelumnya,,
Rameune sekarang malahan sdh menjadi sinonim dari licik, jahat, brengsek dan semena-mena yg dipraktekkan oleh bbrp oknum masyarakat nagan dan mereka bangga dg rameune itu. Evolusi dari rameune adalah ramdok=rameune budok
ReplyRameune sekarang malahan sdh menjadi sinonim dari licik, jahat, brengsek dan semena-mena yg dipraktekkan oleh bbrp oknum masyarakat nagan dan mereka bangga dg rameune itu. Evolusi dari rameune adalah ramdok=rameune budok
Replysaya sedang dalam penulisan tesis mengenai reameun sulit sekali mencari sumber atau referensi buku mengenai tradisi nagan raya . terimaksih artikelnya.. sya akan coba galih lagi tentang adat rameune
ReplyNice. .. Bacaan yg bagus, kebetulan saya lg cari arti kata rameune
Reply