BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejak lahirnya otonomi daerah di Aceh telah terjadi banyak perubahan-perubahan tuntutan, seperti adanya keinginan yang besar dalam diri rakyat Aceh dan Pemerintah Aceh untuk menjayakan kembali syariat-syariat Islam di Aceh seperti pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Aceh yang dahulu. Sejarah mencatat bagaimana perkembangan Islam pada masa Kesultanan Iskandar Muda, Islam sangat berjaya bahkan sampai ke semenanjung Malaya sekalipun. Kerajaan-kerajaan lain pun tunduk kepada hukum syariat Islam ketika itu, sehingga terdapat satu istilah populer “Adat bak Poteumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, qanun bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana.” Yang artinya hukum adat ditangan pemerintah dan hukum agama atau syariat ada di tangan para ulama. Kesadaran-kesadaran masa lalu ini lah yang membuat masyarakat Aceh berpikir kritis bagaimana caranya mencapai kejayaan-kejayaan itu kembali.
B. RUMUSAN MASALAH
Islam memang identik dengan syariat Islam atau lebih dikenal dengan istilah Serambi Mekah. Salah satu buktinya ialah adanya Qanun Jinayat yang telah disahkan oleh DPRA baru-baru ini, Qanun Maisir, hukum cambuk, serta adanya perangkat-perangkat pelaksana syariat Islam seperti; Mahkamah Syariat, Majelis Permusyawaratan Ulama, Wilayatul Hisbah, Dinas Syariat Islam dan sebagainya. Dewasa ini, masih banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran syariat di Aceh, seperti kasus perzinaan dan perjudian, sehingga dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan syariat Islam di Aceh masih belum Kafah. Jika kondisi seperti ini terus berlangsung, dikhawatirkan pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang sudah resmi ini akan terabaikan adanya, yang pada akhirnya Syariat Islam akan tinggal kenangan, seperti sejarah hilangnya Islam yang megah di Spanyol. Auzubillahi min zalika.
C. TUJUAN
A. Apa pengertian dari Syariat Islam?
B. Apa Prinsip Syariat Islam di Aceh?
C. Apa Tujuan Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Syariat Islam
Kata Syariat berasal dari akar kata syara’a – yasyra’u – syar’an wa syir’atan wa syari’atan. Secara etimologi (harfiah) bermakna “jalan menuju air”, “adat kebiasaan”, dan “agama”. Dalam bahasa Arab sering disebut Syari’at Islam. Dalam bahasa Melayu, ia juga disebut syari’at atau Syari’ah itu sendiri. Apabila diterjemah secara etimologi ke dalam bahasa Melayu ia dapat berarti Hukum atau Undang-Undang Islam. Undang-Undang ini datangnya langsung dari Allah swt. untuk semua manusia yang hidup di dunia ini baik muslim atau nonmuslim. Bagi yang menjalankannya, Allah akan menjanjikan surga dan yang melanggarnya akan terancam dalam neraka. Sedangkan menurut istilah, Syariat adalah segala sesuatu yang diturunkan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. dalam bentuk wahyu yang ada dalam Alquran dan Sunnah. Syariat bisa digunakan dalam dua arti, pertama dalam arti sempit, merupakan salah satu aspek ajaran Islam yaitu aspek yang berhubungan dengan hukum. Sedangkan dalam arti luas mencakup semua aspek ajaran Islam, identik dengan istilah Islam itu sendiri. Kemudian Syariat Islam digunakan secara lebih luas mencakup aspek
pendidikan, kebudayaan, ekonomi, politik dan aspek-aspek lainnya.[1] Dalam yurisprudensi Islam, Syariat merupakan kode sempurna dari hukum Islam yang dapat melingkupi semua perilaku manusia menuju petunjuk Alquran dan Sunnah.[2] Agama Islam (Dinul Islam) terbagi ke dalam tiga aspek, yaitu : Syariat, Akidah dan Akhlak. Syariat memerlukan Fikih untuk penafsirannya sehingga hukum syariat mudah dimengerti oleh umat Islam.
B. Prinsip Syariat Islam
Seperti dikutip dari http://yasinadventure.blogspot.com, syariat Islam mempunyai prinsip-prinsip yang secara keseluruhan merupakan kekhususan (spesifikasi) yang membedakan dengan peraturan-peraturan lainnya. Prinsip-prinsip dasar tersebut ada tiga, yaitu :
a. Tidak Memberatkan
Hal ini berarti bahwa syariat Islam tidak membebani manusia dengan kewajiban di luar kemampuannya, sehingga tidak berat untuk dilaksanakan. Firman Allah SWT antara lain :
“... dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. “ (QS. Al Hajj: 78).
“... Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu ... “. (QS. Al Baqarah : 185).
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa):”Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkau-lah penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. (QS. Al Baqarah: 286).
Ayat-ayat yang bersifat umum tersebut telah dijadikan pokok dan dasar syariat. Berdasarkan ayat-ayat yang demikian itu, diadakan rukhshah, yakni aturan-aturan yang meringankan agar jangan menempatkan orang Islam dalam keadaan yang sulit dan berat. Antara lain dalan Al Qur’an disebutkan :
1) Keringanan berbuka puasa bagi orang yang sedang sakit atau dalam perjalanan :
“... Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya ...” (QS. Al Baqarah: 184).
2) Keringanan bertayamum bagi orang yang tidak boleh menggunakan air :
“...dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Maidah: 6).
3) Keringanan membolehkan memakan bangkai atau makanan lainnya apabila dalam keadaan terpaksa :
“Sesungguhnya Allah Hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah, tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya.” (QS. Al Baqarah: 173).
b. Menyedikitkan Beban
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (QS. Al Maidah: 101).
Kandungan ayat tersebut menunjukkan bahwa hal-hal yang tidak disebutkan dalam syariat Islam tidak perlu dipertikaikan bagaimana ketentuan hukumnya, hal itu merupakan rahmat Allah SWT untuk tidak memperbanyak beban kepada umat manusia.
Sabda Rasulullah SAW :
وَقَدْ سُئِلَ عَنِ الْحَجِّ افِى كُلِّ عَامٍ؟ فَقَالَ: لَوْ قُلْتُ نَعَمْ لَوْ جَبَتْ ذَرُوْنِيْ مَا تَركْتُمْ فَاِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِكَثْرَةٍ مَسَائِلِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ اَنْبِيَائِهِمْ (الحديث)
“Rasulullah SAW. telah ditanya tentang haji: Apakah haji itu harus dilakukan setiap tahun ? Rasulullah SAW menjawab : Jika aku katakan ya, pasti akan menjadi wajib, maka biarkanlah apa yang aku tidak kerjakan bagimu, karena hancurnya orang-orang umat sebelum kamu karena banyaknya pertanyaan mereka dan perbedaan pendapat mereka terhadap Nabi mereka.” (Al Hadits).
c. Berangsur-angsur dalam Menetapkan Hukum
Pada awal ajaran Islam diturunkan, Allah SWT belum menetapkan hukum secara tegas dan terperinci, karena bangsa Arab pada waktu itu telah menggunakan adat kebiasaan mereka sebagai peraturan dalam kehidupan. Pada saat itu adat mereka ada yang baik dan dapat diteruskan, tetapi ada pula yang membahayakan dan tidak layak untuk diteruskan. Oleh karena itu syariat secara berangsur-angsur menetapkan hukum agar tidak mengejutkan bangsa yang baru mengenalnya, sehingga perubahan itu tidak terlalu dirasakan yang akhirnya sampai pada ketentuan hukum syariat yang tegas.
Tahapan-tahapan dalam menetapkan syariat Islam menempuh cara sebagai berikut :
1. Berdiam diri, yakni tidak menetapkan hukum kepada sesuatu, karena buat sementara masih perlu diperkenankan, yang kemudian akan diharamkan. Cara ini dilakukan antara lain dalam masalah warisan. Islam tidak segera membatalkan hukum warisanjahiliyah, tetapi akhirnya diganti dengan hukum warisan Islam dan sekaligus membatalkan hukum warisan Jahiliyah tersebut.
2. Mengemukakan permasalahan secara mujmal, yakni dikemukakan secara terperinci. Hal ini dapat dilihat antara lain dalam hukum peperangan, Firman Allah SWT :
“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, Karena Sesungguhnya mereka Telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu,” (QS. Al Hajj: 39).
3. Mengharamkan sesuatu secara berangsur-angsur, sebagaimana ditemui dalam cara mengharamkan khamar (arak). Rasulullah SAW. pernah ditanya tentang khamar dan maisir (judi), yang sudah menjadi kebiasaan dikalangan masyarakat Arab waktu itu. Firman Allah SWT :
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah yang lebih dari keperluan. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,” (QS. Al Baqarah: 219).
Dengan ayat tersebut, syariat belum menetapkan arak dan judi haram, tetapi dengan menyebut dosanya lebih besar, ada kesan melarangnya.
Baru pada tahap berikutnya Allah mengharamkannya dengan perintah untuk meninggalkannya. Firman Allah :
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al Maidah: 90).
4. Memperhatikan kemaslahatan manusia dalam menetapkan hukum
Allah dalam menetapkan hukum selalu memepertimbangkan kemaslahatan hidup umat manusia. Oleh karena itu dalam proses penetapan hukum senantiasa didasarkan pada tiga aspek :
1). Hukum ditetapkan sesudah masyarakat membutuhkan hukum-hukum tersebut.
2). Hukum ditetapkan hanya menurut kadar kebutuhan masyarakat.
3). Hukum hanya ditetapkan oleh lembaga pemerintah yang berhak menetapkan hukum.
5. Keadilan yang merata
Menurut syariat Islam kedudukan semua orang adalah sama dihadapan Allah, yang membedakan adalah tingkatan takwa mereka. Oleh karena itu orang yang kaya dengan orang yang miskin sama dihadapan Allah dalam hal pengadilannya. Hal ini dijelaskan oleh Allah dalam QS. Al Maidah: 8.
“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al Maidah: 8).
C. Tujuan Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh
Dalam masyarakat Aceh, sejak zaman Kesultanan Iskandar Muda sudah masyhur ungkapan (petuah adat): “Syari’at ngon adat lagee zat ngon sifeut” artinya antara syariat dan adat bagaikan hubungan antara zat dengan sifat yang tak mungkin bisa dipisahkan. Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh secara resmi berdasarkan Undang-undang negara Republik Indonesia dilaksanakan pada tanggal 15 Maret 2002 (1 Muharam 1423H) dengan tujuan dasar untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar.
Menurut buku “Syariah dan Ibadah” (Pamator 1999) yang disusun oleh Tim Dirasah Islamiyah dari Universitas Islam Jakarta, ada 5 (lima) hal pokok yang merupakan tujuan utama dari Syariat Islam, yaitu:
1. Memelihara kemaslahatan agama (Hifzh al-din)
Agama Islam harus dibela dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung-jawab yang hendak merusak akidah, ibadat dan akhlak umat. Ajaran Islam memberikan kebebasan untuk memilih agama, seperti firman Allah dalam Al-Quran :
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)…” (QS Al-Baqarah [2]: 256).
Akan tetapi, agar terpeliharanya ajaran Islam dan terciptanya rahmatan lil’alamin, maka Allah SWT telah membuat peraturan-peraturan, termasuk larangan berbuat musyrik dan murtad. Seperti firman Allah dalam Alquran surat An-Nisaa : 48 yang artinya :
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakiNya. Barangsiapa yang mempesekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.”
Dengan adanya Syariat Islam, maka dosa syirik maupun murtad akan ditumpas.
2. Memelihara jiwa (Hifzh al-nafsi)
Agama Islam sangat menghargai jiwa seseorang. Oleh sebab itu, diberlakukanlah hukum qishash yang merupakan suatu bentuk hukum pembalasan. Seseorang yang telah membunuh orang lain akan dibunuh, seseorang yang telah mencederai orang lain, akan dicederai, seseorang yang yang telah menyakiti orang lain, akan disakiti secara setimpal. Dengan demikian seseorang akan takut melakukan kejahatan. Ayat Al-Quran menegaskan:
“Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan kepadamu qishash (pembalasan) pada orang-orang yang dibunuh…” (QS Al-Baqarah [2]: 178).
Namun, qishash tidak diberlakukan jika si pelaku dimaafkan oleh yang bersangkutan, atau diat (ganti rugi) telah dibayarkan secara wajar. Ayat Al-Quran menerangkan hal ini:
“Barangsiapa mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah mengikuti cara yang baik dan hendaklah (orang yang diberi maaf) membayar diat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula)” (QS Al-Baqarah [2]: 178).
Dengan adanya Syariat Islam, maka pembunuhan akan tertanggulani karena para calon pembunuh akan berpikir ulang untuk membunuh karena nyawanya sebagai taruhannya. Dengan begitu, jiwa orang beriman akan terpelihara.
3. Memelihara akal (Hifzh al-’aqli)
Kedudukan akal manusia dalam pandangan Islam amatlah penting. Akal manusia dibutuhkan untuk memikirkan ayat-ayat Qauliyah (Al-Quran) dan kauniah (sunnatullah) menuju manusia kamil. Salah satu cara yang paling utama dalam memelihara akan adalah dengan menghindari khamar (minuman keras) dan judi. Ayat-ayat Al-Quran menjelaskan sebagai berikut:
“Mereka bertanya kepadamu (wahai Muhammad) mengenai khamar (minuman keras) dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa kedua-duanya lebih besar dari manfaatnya.” (QS Al-Baqarah [2]: 219).
Syariat Islam akan memelihara umat manusia dari dosa bermabuk-mabukan dan dosa perjudian.
4. Memelihara keturunan dan kehormatan (Hifzh al-nashli)
Islam secara jelas mengatur pernikahan, dan mengharamkan zina. Dalam Syariat Islam telah jelas ditentukan siapa saja yang boleh dinikahi, dan siapa saja yang tidak boleh dinikahi. Al-Quran telah mengatur hal-hal ini:
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS Al-Baqarah [2]: 221).
“Perempuan dan lak-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (QS An-Nur [24]: 2).
Syariat Islam akan menghukum dengan tegas secara fisik (dengan cambuk) dan emosional (dengan disaksikan banyak orang) agar para pezina bertaubat.
5. Memelihara harta benda (Hifzh al-mal)
Dengan adanya Syariat Islam, maka para pemilik harta benda akan merasa lebih aman, karena Islam mengenal hukuman Had, yaitu potong tangan dan/atau kaki. Seperti yang tertulis di dalam Al-Quran:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagaimana) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha Bijaksana” (Q.S Al-Maidah [5]: 38).
Hukuman ini bukan diberlakukan dengan semena-mena. Ada batasan tertentu dan alasan yang sangat kuat sebelum diputuskan. Jadi, bukan berarti orang mencuri dengan serta merta dihukum potong tangan. Dilihat dulu akar masalahnya dan apa yang dicurinya serta kadarnya. Jika ia mencuri karena lapar dan hanya mengambil beberapa butir buah untuk mengganjal laparnya, tentunya tidak akan dipotong tangan. Berbeda dengan para koruptor yang sengaja memperkaya diri dengan menyalahgunakan jabatannya, tentunya hukuman berat sudah pasti buatnya. Dengan demikian Syariat Islam akan menjadi andalan dalam menjaga suasana tertib masyarakat terhadap berbagai tindak pencurian.
BAB III
KESIMPULAN
Kata Syariat berasal dari akar kata syara’a bermakna “jalan menuju air”, “adat kebiasaan”, dan “agama”, sedangkan menurut istilah, Syariat adalah segala sesuatu yang diturunkan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. dalam bentuk wahyu yang ada dalam Alquran dan Sunnah. Syariat Islam mempunyai prinsip-prinsip : Tidak Memberatkan, Menyedikitkan Beban, dan Berangsur-angsur dalam Menetapkan Hukum.Adapun tujuan dari Syariat ialah : Memelihara kemaslahatan agama (Hifzh al-din); Memelihara jiwa (Hifzh al-nafsi); Memelihara akal (Hifzh al-’aqli); serta Memelihara harta benda (Hifzh al-mal).
DAFTAR PUSTAKA
Alyasa Abubakar. Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan , Banda Aceh: Dinas Syariat
Islam, 2008.
Dirasah Islamiyah. Syariah dan Ibadah, Jakarta: Pamator, 1999.
Fakultas Syari’ah IAIN AR-Raniry Darussalam-Banda Aceh. Sejarah Hukum Islam
(Hukum Islam Pada Masa Aceh Kontemporer), Banda Aceh: - , 2010.