Inilah sejarah dari Kota Banda Aceh beserta maskot Kota Banda Aceh
Jum’at 22 April 1205 M bertepatan dengan 1 Ramadhan 601 H Kota Banda Aceh didirikan dan berperan sebagai pusat Kerajaan Aceh Darussalam. Di bawah pemerintahan Sultan Alaidin Al Mugayatsyah, Sultan Alaidin Abdul Kahhar (Al Kahhar), Sultan Alaidin Iskandar Muda Meukuta Alam dan Sultanah Tajul Alam Safiatuddin adalah masa-masa gemilang Kerajaan Aceh Darussalam.
Kerajaan Aceh mengalami masa kejayaan yaitu pada abad ke XVI dan abad ke XVII. Banda Aceh selain sebagai Ibukota Kerajaan Aceh dan juga berperan sebagai pusat kedudukan pemerintahan. Dalam perjalanan sejarahnya Kota Banda Aceh juga pernah berperan sebagai pusat perdagangan di kawasan Asia Tenggara.
Kerajaan Aceh mengalami kemunduran pada abad ke XVIII dan Abad ke XIX, Kejayaan dan ketenaran Kota Banda Aceh juga ikut memudar, ditambah dengan berkecamuknya perang antara Belanda dengan Kerajaan Aceh pada akhir abad ke XIX.
Pada tahun 1874, pemerintah Kolonial Belanda berhasil merebut Kota Banda Aceh dari tangan Kesultanan Aceh dan merubah nama Kota Banda Aceh menjadi Kuta Radja. Nama ini sebenarnya berasal dari nama sebuah tempat pertahanan/benteng Sultan atau Raja yang terdapat dalam kraton bagian dari Kota Banda Aceh Darussalam.
Kemudian semejak tanggal 21 April 1962, oleh Gubernur Aceh Ali Hasjmy dengan dasar Surat Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah, Nomor: Des.52/I/43-43 tanggal 9 Mei 1963 nama Kutaraja dikembalikan kepada nama aslinya yaitu Banda Aceh.
Tanggal 26 Desember 2004, gempa bumi dan tsunami menyebabkan tiga kecamatan mengalami kerusakan berat dan tiga kecamatan lainnya mengalami kerusakan sedang. Bencana ini merenggut ribuan jiwa dan menyebabkan rusaknya berbagai infrastruktur kota, orang-orang kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian, tata ruang menjadi berantakan dan kehidupan sosial masyarakat menjadi terganggu. Bencana ini juga menjadikan Kota Banda Aceh menjadi pusat perhatian masyarakat nasional dan internasional. Hal ini juga yang mendorong lembaga donor, NGO, Pemerintah dan berbagai kalangan untuk berpartisipasi dalam memulihkan dan merekonstruksi Kota Banda Aceh.
Pada tanggal 15 Agustus 2005, penandatanganan Nota Kesepakatan Damai (MOU) yang dilaksanakan di Helsinki – Swedia merupakan tahapan penting bagi Aceh dalam memasuki kehidupan damai yang didambakan masyarakat. Konflik yang berkepanjangan menyebabkan jatuhnya korban yang besar dimana hal ini menghambat stabilitas politik dan keamanan yang menjadi modal dasar pembangunan di Aceh dan khususnya Kota Banda Aceh.
Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memiliki implikasi yang besar sebagai landasan untuk pembangunan. Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan langkah awal dalam perwujudan demokrasi yang ada di Aceh. Hal-hal tersebut merupakan bagian sejarah Aceh dan khususnya Kota Banda Aceh serta tiba saatnya kini bangkit untuk membangun kembali Kota Banda Aceh di berbagai bidang.
Sejarah menandai intensitas dan identitas yang terangkum dalam integritas pemilik sejarah itu sendiri. Masa kini adalah lanjutan dari masa lalu dan menjadi pembelajaran bagi generasi dan sejarah Banda Aceh di masa akan datang.
Kerajaan Aceh mengalami masa kejayaan yaitu pada abad ke XVI dan abad ke XVII. Banda Aceh selain sebagai Ibukota Kerajaan Aceh dan juga berperan sebagai pusat kedudukan pemerintahan. Dalam perjalanan sejarahnya Kota Banda Aceh juga pernah berperan sebagai pusat perdagangan di kawasan Asia Tenggara.
Kerajaan Aceh mengalami kemunduran pada abad ke XVIII dan Abad ke XIX, Kejayaan dan ketenaran Kota Banda Aceh juga ikut memudar, ditambah dengan berkecamuknya perang antara Belanda dengan Kerajaan Aceh pada akhir abad ke XIX.
Pada tahun 1874, pemerintah Kolonial Belanda berhasil merebut Kota Banda Aceh dari tangan Kesultanan Aceh dan merubah nama Kota Banda Aceh menjadi Kuta Radja. Nama ini sebenarnya berasal dari nama sebuah tempat pertahanan/benteng Sultan atau Raja yang terdapat dalam kraton bagian dari Kota Banda Aceh Darussalam.
Kemudian semejak tanggal 21 April 1962, oleh Gubernur Aceh Ali Hasjmy dengan dasar Surat Keputusan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah, Nomor: Des.52/I/43-43 tanggal 9 Mei 1963 nama Kutaraja dikembalikan kepada nama aslinya yaitu Banda Aceh.
Tanggal 26 Desember 2004, gempa bumi dan tsunami menyebabkan tiga kecamatan mengalami kerusakan berat dan tiga kecamatan lainnya mengalami kerusakan sedang. Bencana ini merenggut ribuan jiwa dan menyebabkan rusaknya berbagai infrastruktur kota, orang-orang kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian, tata ruang menjadi berantakan dan kehidupan sosial masyarakat menjadi terganggu. Bencana ini juga menjadikan Kota Banda Aceh menjadi pusat perhatian masyarakat nasional dan internasional. Hal ini juga yang mendorong lembaga donor, NGO, Pemerintah dan berbagai kalangan untuk berpartisipasi dalam memulihkan dan merekonstruksi Kota Banda Aceh.
Pada tanggal 15 Agustus 2005, penandatanganan Nota Kesepakatan Damai (MOU) yang dilaksanakan di Helsinki – Swedia merupakan tahapan penting bagi Aceh dalam memasuki kehidupan damai yang didambakan masyarakat. Konflik yang berkepanjangan menyebabkan jatuhnya korban yang besar dimana hal ini menghambat stabilitas politik dan keamanan yang menjadi modal dasar pembangunan di Aceh dan khususnya Kota Banda Aceh.
Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memiliki implikasi yang besar sebagai landasan untuk pembangunan. Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan langkah awal dalam perwujudan demokrasi yang ada di Aceh. Hal-hal tersebut merupakan bagian sejarah Aceh dan khususnya Kota Banda Aceh serta tiba saatnya kini bangkit untuk membangun kembali Kota Banda Aceh di berbagai bidang.
Sejarah menandai intensitas dan identitas yang terangkum dalam integritas pemilik sejarah itu sendiri. Masa kini adalah lanjutan dari masa lalu dan menjadi pembelajaran bagi generasi dan sejarah Banda Aceh di masa akan datang.